Protes Ekuador 2019: Pendekatan Struktural dalam Penolakan Massal terhadap Pengetatan Anggaran

Allysa Ramadhani
8 min readAug 6, 2021
Demonstran mengibarkan bendera Ekuador selama protes atas berakhirnya subsidi bahan bakar yang diumumkan Presiden Lenín Moreno (sumber: theatlantic.com).

Di tanggal 3 Oktober 2019, ribuan anggota serikat pekerja, kelompok mahasiswa, dan organisasi masyarakat pribumi CONAIE memenuhi jalanan di Quito guna menyerukan protes terhadap kebijakan pengetatan anggaran yang diberitahukan Presiden Ekuador Lenín Moreno dua hari sebelumnya. Di satu sisi, pengetatan anggaran akan menstimulasi ekonomi nasional, terutama dengan pinjaman senilai US$4,2 miliar dari IMF untuk memotong defisit anggaran, tetapi kebijakan serupa akan menghapus subsidi bahan bakar senilai US$1,3 miliar pertahun, akibatnya menaikkan harga bahan bakar hingga dua kali lipat dan meningkatkan harga barang pokok (Brown, 2019). Di sisi yang lain, masyarakat dikecewakan dengan pemotongan upah pekerja sektor publik sebesar 20 persen dan pengurangan hari libur — dari 30 hari ke 15 hari pertahun (Brown, 2019). Kekecewaan publik mengakibatkan kerusuhan selama dua minggu, melumpuhkan pelayanan publik, serta memicu penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan. Esai ini mengkaji bagaimana kebijakan pengetatan anggaran memunculkan konteks struktural dalam perlawanan sosial serta pemenuhan tuntutan di Ekuador.

Pertama, kebijakan ekonomi regresif Ekuador mengindikasikan perubahan sosial yang memunculkan struktur opresi sebagai prakondisi kebangkitan gerakan, tetapi ia berkaitan erat dengan neoliberalisme. Sistem yang muncul dari nilai-nilai neoliberal — misalnya, penanaman modal asing, perkembangan teknologi, dan pembukaan pasar terhadap entitas eksternal — tak dapat ditolak. Dalam kasus Ekuador, neoliberalisme hadir melalui sistem industri padat yang tidak sekadar membantu pertumbuhan ekonomi tetapi juga melibatkan investasi tinggi pada peralatan serta prosedur industri yang dipatenkan (Vanden & Prevost, 2002). Oleh karena itu, Ekuador bergantung pada pembangunan berbasis utang pada entitas eksternal dan privatisasi ekonomi, ditandai dengan (1) persetujuan Moreno untuk mereformasi ekonomi sesuai dengan arahan IMF untuk meminimalisasi defisit fiskal dan (2) rencana penghematan anggaran yang merugikan sebagian kelompok masyarakat, terutama pekerja sektor publik. Dengan demikian, neoliberalisme memunculkan — dan bahkan, memperluas — ketidakadilan di Ekuador.

Dalam menelaah struktur opresi pascapengetatan anggaran, terdapat tiga aktor sentral yang merasakan ketidakadilan serta mempunyai kepentingan masing-masing: serikat pekerja di bidang transportasi, masyarakat sipil, dan CONAIE (Torchia & Alonso, 2019). Pencabutan subsidi bahan bakar langsung menaikkan harga bensin sebesar 30 persen (dari US$1,85 ke USS$2,39 pergalon) serta menggandakan harga solar (dari US$1,03 ke US$2,30 pergalon) (Brown, 2019). Dampak kenaikan harga bahan bakar dirasakan serikat pekerja dalam bidang transportasi yang selanjutnya mengorganisasi pemogokan nasional, pemblokiran jalan raya, dan penangguhan pengiriman bahan bakar — salah satu komoditas fundamental bagi ekonomi nasional — di bagian utara dan selatan Ekuador (BBC, 2019). Selain itu, kenaikan harga bahan bakar memicu spekulasi dari kelompok bisnis yang selanjutnya menutup bisnis mereka atau menaikkan harga barang pokok. Namun, secara umum CONAIE menilai bahwa penghematan anggaran justru akan merugikan masyarakat, khususnya komunitas-komunitas pribumi yang menjadi minoritas sehingga merekalah yang akan paling terdampak secara ekonomi.

Terlepas dari kontras kepentingan antaraktor, terdapat satu kepentingan bersama, yaitu penolakan terhadap pengetatan anggaran yang mendorong ketidakadilan di antara masyarakat Ekuador. Kebijakan ekonomi represif yang dirumuskan pemerintahan Moreno serta didukung IMF tidak akan menciptakan keadilan sosial, di mana setiap konstituen memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam setiap bidang (Fraser, 2003). Kebijakan ini justru akan meminimalkan pengeluaran pemerintahan Moreno untuk barang publik serta memaksimalkan pengeluaran rakyat untuk barang kebutuhan pokok — dalam kata lain, menurunkan pergerakan kapital ketika mekanisme pasar memerlukan aliran kapital untuk mempertahankan hubungan pemerintah-masyarakat. Dengan demikian, struktur ekonomi yang menghadapi permasalahan distribusi sumber daya — antara kelompok pemilik modal tinggi dengan kelompok yang perlu memperjuangkan upah minimum — merupakan prakondisi bagi kekecewaan kolektif terhadap penghematan anggaran yang akan memperparah opresi serta memicu protes massa.

Kerusuhan Ekuador dipengaruhi tidak sekadar oleh perubahan struktur ekonomi tetapi juga oleh ketidakstabilan sosial sekaligus keterasingan yang mengikutinya. Setiap kelompok sosial pada awalnya berunjuk rasa dengan kepentingan masing-masing — misalnya, (1) serikat pekerja di bidang transportasi yang melangsungkan pemogokan sekaligus pemblokiran jalan sehingga mobilitas penduduk dan komoditas sempat terhambat, serta (2) kelompok-kelompok pribumi yang menahan aparat keamanan dan menegakkan keadilan adat (BBC, 2019; Brown, 2019). Tindakan komunitas secara individu tidaklah cukup untuk memungkinkan pembalikan kebijakan — diindikasikan dengan penolakan tuntutan publik, pemberlakuan jam malam, serta pengerahan pasukan militer oleh Moreno — tetapi cukup untuk mengganggu kondisi ekonomi Ekuador (Ávila, 2019). Keterbatasan mobilitas penduduk dan keterbatasan akses atas barang kebutuhan pokok mempengaruhi gambaran publik atas penghematan anggaran — memperluas jangkauan kepentingan yang mampu diagregasikan, bersama dengan kepentingan ketiga aktor sentral, menjadi satu kepentingan kolektif sebagai prekondisi respons kolektif.

Kedua, bersesuaian dengan pemaparan di atas, gerakan sosial adalah fenomena yang deterministik — di luar keinginan manusia tetapi inheren — dan pengorganisasian kerusuhan di Ekuador dapat diteliti lebih lanjut menggunakan pendekatan perilaku kolektif. Memanfaatkan definisi dari Turner dan Killian (1972 dalam Morris & Herring, 1987), gerakan sosial muncul dari kesinambungan kepentingan berbagai individu dan/atau kelompok secara kolektif untuk mendukung atau menolak perubahan sosial. Berdasarkan definisi tersebut, kerusakan struktur ekonomi dan/atau pemerintahan menciptakan ketidakstabilan sosial yang didasari rasa cemas dan marah yang dimiliki masyarakat sekaligus membuka jalan bagi tindakan kolektif. Walau demikian, kemarahan serta kegelisahan yang tidak diagregasikan memicu respons yang tidak rasional, di mana terdapat rasa frustasi dari kelompok-kelompok yang tidak terakomodasi di kala krisis. Maka dari itu, kepentingan kolektif tidak memungkinkan pemenuhan kepentingan sebuah individu dan/atau kelompok, dan gerakan sosial — yang memobilisasinya — dipandang sebagai respons terhadap perubahan sosial secara rasional dan tidak menyimpang.

Dalam memahami kerusuhan pascapengetatan anggaran Ekuador, gerakan sosial tidak hanya dipahami sebagai mobilisasi agenda kolektif, tetapi ia juga diartikan sebagai hasil dari perluasan kesempatan politik. Pengartikulasian kepentingan bersama oleh serikat transportasi, masyarakat sipil, dan CONAIE diikuti dengan kemunculan gerakan sosial yang lebih mudah apabila terdapat kesempatan yang luas untuk merespons pemerintahan Moreno. Menetapkan konteks bagi interaksi strategis antara kepentingan pemerintahan Moreno serta konstituennya, kesempatan politik terdiri atas empat dimensi, yaitu keterbukaan relatif dari institusi-institusi sosial, kestabilan polarisasi politik, keberadaan sekutu-sekutu elit, dan kecenderungan negara untuk melakukan tindakan represif (McAdam dkk., 1996 dalam Lichbach, 1998). Dalam kata lain, kesempatan politik memengaruhi momen dan strategi mobilisasi kepentingan kolektif.

Dimensi pertama kesempatan politik adalah keterbukaan relatif dari institusi-institusi politik, dipengaruhi oleh peningkatan akses populer dalam sistem politik. Walaupun Ekuador secara resmi menerapkan sistem pemerintahan demokratis, pemerintahan Moreno merupakan pemerintahan bersayap kiri yang menekankan personalisme dan klientelisme, memungkinkan pelemahan demokrasi melalui korupsi antara pejabat terpilih (Freedom House, 2019). Akan tetapi, masyarakat Ekuador secara umum menikmati kebebasan berpolitik serta berpendapat. Dalam kasus kerusuhan antipenghematan anggaran, protes massa — terdiri atas ribuan anggota CONAIE, kelompok mahasiswa, serta serikat transportasi — di jalanan Quito yang menuntut penerapan subsidi dan pembalikan kebijakan dilindungi oleh prinsip-prinsip nondiskriminasi, kesetaraan, dan perwakilan minoritas yang tercantum dalam konstitusi Ekuador.

Dimensi kedua adalah kestabilan polarisasi politik, ditandai dengan perpecahan dalam elit politik. Sebelum massa melangsungkan gerakan antipemerintah, Moreno mengumumkan keadaan darurat, pernyataan yang memperbolehkan segala kebijakan guna menjaga ketertiban nasional — termasuk penggunaan kapasitas koersif (Brown, 2019). Akan tetapi, pemerintahan Moreno nyatanya terpolarisasi, sebab tak semua aparat pemerintah menolak negosiasi dengan pihak-pihak yang dirugikan oleh rancangan penghematan anggaran. Sebagai ilustrasi, serikat transportasi sempat menangguhkan pemogokan pascapencapaian kesepakatan sebelum turun ke jalanan Quito, dan Sekretaris Jenderal José Briones mengatakan negosiasi merupakan opsi yang dapat dipertimbangkan untuk memulihkan ketertiban sosial (Torchia & Alonso, 2019). Dengan demikian, terdapat keberagaman strategi yang digunakan kelompok pengunjuk rasa, mulai dari aksi-aksi nirkekerasan — seperti penahanan aparat keamanan serta pendudukan diri di kantor parlemen — sampai dengan pembakaran kendaraan pasukan militer Ekuador.

Dimensi ketiga berkenaan dengan ketersediaan sekutu elit, dan pemerintahan Moreno tidak menikmati dukungan masif dari elit-elit berideologi serupa, khususnya Mantan Presiden Ekuador Rafael Correa. Menjabat sejak tahun 2007 sampai dengan kenaikan Moreno di tahun 2017, Correa memulai pemerintahan bersayap kiri di Ekuador melalui pembatasan media dan masyarakat sipil, dan pemerintahan Correa sempat dihadapkan dengan protes terkait dengan pajak warisan hingga 77,5 persen serta pajak keuntungan real estat sampai dengan 75 persen yang akan mencederai bisnis penduduk (Alvaro, 2015; Freedom House, 2019). Menjalankan pemerintahan hasil pengaturan Correa dan menghadapi krisis seperti pendahulunya, Moreno mengatakan bahwa Correa menyogok tenaga kerja untuk mendestabilisasi pemerintahan serta bahwa gerakan sosial kala itu berdasarkan ketidakpuasan kolektif (Caraballo, 2019). Namun, Correa menyerukan pemilihan presiden lebih awal, mengindikasikan penarikan dukungannya ke Moreno, sekaligus membantah tuduhan Moreno kepadanya (Brown, 2019).

Dimensi terakhir terkait erat dengan penggunaan kapasitas koersif. Dengan ketiadaan dukungan dari elit-elit politik serta keberadaan protes massa, Moreno terpaksa menggunakan kekerasan untuk memulihkan keamanan nasional serta untuk menjaga legitimasinya. Militer serta aparat keamanan turut memenuhi jalanan Quito, dan mereka menggunakan gas air mata guna membubarkan kelompok pengunjuk rasa (Caraballo, 2019). Meski demikian, kerusuhan tetap berjalan, dan aktivitas ekonomi mengalami stagnasi — khususnya industri perminyakan yang berperan sebagai motor pertumbuhan ekonomi di Ekuador. Menyadari bahwa rancangan penghematan anggaran tidak akan meningkatkan kesejahteraan sosial dan tidak melancarkan pertumbuhan ekonomi, Moreno membuka kesempatan negosiasi dengan kelompok-kelompok kepentingan — diakhiri dengan pemenuhan tuntutan (1) pembatalan pengetatan anggaran dan penerapan kembali subsidi bahan bakar, serta (2) pemulihan keamanan dan ketertiban sosial dengan menyudahi serangkaian protes terhadap pemerintahan Moreno (Reichard, 2019).

Secara ringkas, protes antipengetatan anggaran di Ekuador diakhiri dengan kompromi damai, dan pencapaian tersebut dapat dikaji dengan pendekatan struktural terhadap gerakan sosial. Dimunculkan oleh neoliberalisme sebagai tatanan hegemonik, penghematan anggaran di Ekuador menghasilkan politik resistensi antara pemerintahan Moreno yang didukung IMF dengan serikat pekerja dalam bidang transportasi, masyarakat sipil, dan kelompok masyarakat adat yang diwadahi dalam CONAIE. Merasakan serta menanggapi opresi pascaimplementasi rencana Moreno, ketiga aktor sentral merasakan ketidakadilan secara ekonomi, menginginkan redistribusi sumber daya, dan menghendaki pembatalan penghematan anggaran agar keadilan sosial dapat diwujudkan. Melalui konsep perilaku kolektif dan kesempatan politik, kerusuhan Ekuador merupakan gerakan sosial rasional yang (1) mengelola kepentingan setiap kelompok menjadi sebuah kepentingan kolektif untuk dimobilisasi, sekaligus (2) memanfaatkan empat kesempatan politik — kebebasan berpolitik dan berpendapat dalam pemerintahan demokratis, keberadaan polarisasi politik di pemerintahan Moreno, ketiadaan sekutu elit yang setia pada Moreno, serta kegagalan rencana Moreno untuk mengembalikan ketertiban dan mewujudkan kesejahteraan. Berkat aspek-aspek di atas, tuntutan masyarakat Ekuador dapat tercapai.

Referensi

Alvaro, M. (2015, Juni 26). Protesters in Ecuador Demonstrate Against Correa’s Policies. Wall Street Journal. https://www.wsj.com/articles/protesters-in-ecuador- demonstrate-against-correas-policies-1435279037

Ávila, R. (2019, Oktober 13). President orders army onto streets of Ecuadorian capital. AP News. https://apnews.com/article/3163699112084840882bcb603cb7aa2c

BBC. (2019, Oktober 7). Ecuador protests: Indigenous groups block highways as protests continue. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-latin-america-49955695

Caraballo, E. L. (2019, Oktober 9). In Ecuador, Indigenous Protestors Force Government Out of Capital. Remezcla. https://remezcla.com/culture/ecuador-indigenous-protestors-force-government-capital/

Brown, K. (2019, Oktober 10). Ecuador unrest: What led to the mass protests? Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/economy/2019/10/10/ecuador-unrest- what-led-to-the-mass-protests

Fraser, N. (2003). From Redistribution to Recognition? Dalam Marx and Modernity (hlm. 379–386). John Wiley & Sons, Ltd. https://doi.org/10.1002/9780470756119.ch54

Freedom House. (2019). Ecuador. Freedom House. Diambil 23 Desember 2020, dari https://freedomhouse.org/country/ecuador/freedom-world/2019

Lichbach, M. I. (1998). Contending Theories of Contentious Politics and The Structure-Action Problem of Social Order. Annual Review of Political Science, 1(1), 401–424. https://doi.org/10.1146/annurev.polisci.1.1.401

Morris, A., & Herring, C. (1987). Theory and Research in Social Movements: A Critical Review. Annual Review of Political Science, 2.

Reichard, R. (2019, Oktober 14). After 10 Days of Protest, Indigenous Ecuadorians Celebrate End to Subsidy Cuts. Remezcla. https://remezcla.com/culture/10-days- protest-indigenous-ecuadorians-celebrate-end-subsidy-cuts/

Torchia, C., & Alonso, L. (2019, Oktober 11). Defiant protesters in Ecuador parade captive police officers. AP News. https://apnews.com/article/7fb1543ed9684ecabad60bff08985bfe

Vanden, H. E., & Prevost, G. (2002). Politics of Latin America : the power game. New York: Oxford University Press, Inc.

--

--

Allysa Ramadhani

An 🇮🇩 IR grad exploring Security Studies in South/Southeast Asian politics. Ex-exchange student in 🇵🇱 and ex-Program Assistant at an 🇦🇺 consortium.