Melampaui Nasionalisme Agama: Perbedaan Kekerasan Politik dalam Pembangunan Negara India dan Pakistan

Allysa Ramadhani
8 min readJan 18, 2021
Gubernur Jenderal India Mountbatten mendiskusikan rancangan Partisi bersama Perdana Menteri India Nehru dan Gubernur Jenderal Pakistan Ali Jinnah (Sumber: theconversation.com).

Pembentukan India dan Pakistan serta pertentangan di antara kedua negara tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Partisi 1947. Mengakhiri pemerintahan Inggris selama hampir dua abad, Partisi tidak sekadar membagi wilayah Kemaharajaan Britania menjadi dua negara atas dasar agama — India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim — tetapi juga memisahkan provinsi Bengal dan Punjab tanpa mempertimbangkan heterogenitas masyarakat secara riil. Akibatnya, pemindahan kekuasaan secara damai justru memunculkan perpindahan penduduk dalam jumlah besar sekaligus penggunaan kekerasan secara berlebihan, mendorong pembentukan sistem pemerintahan yang mengurangi ketidakamanan dan kebingungan publik di kedua negara (Talbot, 2019). Berbeda dengan India yang berhasil mempertahankan sistem demokrasi, Pakistan terjebak di antara demokrasi serta otokrasi samar (Jaffrelot, 2011). Esai ini menjelaskan perbedaan dampak Partisi pada pembangunan negara di India dan di Pakistan dalam tiga bagian, yaitu pertentangan nasionalisme, pembentukan institusi, serta penggunaan kekerasan dalam mempertahankan nasionalisme masing-masing negara.

Perkembangan politik kontemporer di Asia Selatan juga tidak luput dari Pembunuhan Besar Calcutta pada tanggal 16 Agustus 1946 — sebelum Partisi. Dua partai politik terbesar di Majelis Konstituen India saat itu adalah Liga Muslim dan Kongres Nasional India, tetapi Ali Jinnah — pemimpin Liga Muslim — mengecam ketidakpekaan Kongres terhadap kepentingan umat Islam serta menganggap bahwa kemerdekaan India berarti penguasaan kaum Hindu atas kaum minoritas, khususnya umat Islam yang mungkin tidak memperoleh ketidakadilan. Lalu, Jinnah menyebutkan masyarakat akan mempunyai, “India yang terpisah (menjadi dua negara) atau India yang hancur,” (Bourke-White, 1949). Pembunuhan Besar Calcutta, yang diinisiasi sebagai aksi nirkekerasan untuk melindungi kepentingan Liga Muslim atas negara berdaulat, berubah menjadi kerusuhan komunal — dibuktikan dengan kekerasan pengikut Kongres pada umat Muslim dan dengan perluasan kekerasan sampai ke Bengal dan Bihar. Dengan dampak kekerasan yang masif, peristiwa ini sukses menjadi katalis bagi Partisi (Samaddar, 2016).

Namun, Partisi menjadi permulaan bagi kekejaman yang lebih luas. Diberikan mandat oleh Gubernur Jenderal India Mountbatten untuk memimpin komisi pembentukan perbatasan India-Pakistan, hakim Inggris Sir Cyril Radcliffe menyelesaikan rancangan perbatasan sesuai dengan data kartografis dan sensus penduduk — proporsi statistik antara populasi Hindu, Sikh, serta Muslim — yang tidak terpakai daripada mengunjungi lokasi riil perbatasan (Khan, 2017). Diterbitkan tiga hari pascakemerdekaan Pakistan dan dua hari pascakemerdekaan India, Garis Radcliffe mendorong (1) pencabutan komunitas beragama dari infrastruktur strategis, tanah pertanian, dan rumah ibadah yang mereka jaga selama turun-temurun, serta (2) memunculkan kelompok minoritas pada kedua negara — mendasari kekerasan berbasis agama (Khan, 2017). Dengan demikian, Partisi tidak hanya mengindikasikan kemerdekaan India dan Pakistan dari kekuasaan Inggris, tetapi ia juga menandakan awal bagi ketidakstabilan politik dan kekerasan berbasis agama yang berperan dalam pembangunan kedua negara ini.

Dalam menganalisis perbedaan antara praktik pemerintahan di India dan hal serupa di Pakistan, pertentangan nasionalisme merupakan aspek fundamental. Diskursus nasionalisme di Asia Selatan didasari oleh patriotisme tradisional — rasa kepemilikan terhadap suatu bangsa berdasarkan sentimen kedaerahan sehingga terdapat keengganan untuk menyetarakan sebuah daerah dengan daerah lain dengan karakteristik yang berbeda — yang kemudian berkontribusi pada persatuan rakyat India dalam Pemberontakan Sepoy 1857. Namun, pertentangan antara Liga Muslim yang berideologi Muslim dan Kongres yang sekuler — atau memisahkan relasi agama-pemerintahan — mendorong nasionalisme berbasis antagonisme (Habib, 2017). Dengan kata lain, nasionalisme dirumuskan berdasarkan pengidentifikasian musuh dan prinsip-prinsip setiap partai politik, ditandai dengan kebangkitan nasionalisme Hindu di India dan pengakuan Islam sebagai agama nasional sekaligus perkembangan gerakan Islam di Pakistan.

India tidak menggunakan nasionalisme Hindu secara luas sampai dengan kemunculan Partai Bharatiya Janata (BJP) sebagai pemenang Pemilihan Umum 2014, tetapi nasionalisme ini dilestarikan karena persebaran pengaruh Kongres yang tidak merata (Brass, 2010). Peran Kongres sebagai partai penggerak kemerdekaan memudahkan jalannya untuk menjadi partai dominan India, tetapi sejak dekade 1970-an basis dukungan Kongres bergeser dari pluralisme menuju pragmatisme, diawali dengan politisasi perpecahan agama dan pertunjukan dukungan terhadap komunitas Hindu oleh Indira Gandhi (Chandra, 2019). Akan tetapi, pragmatisme ini malah menghapus pendukung sekuler dan semakin mengurangi basis dukungan Kongres, dan ideologi Hindutva — menghendaki India sebagai negara Hindu — menjadi wujud nasionalisme yang lebih terjangkau bagi masyarakat India, mengingat strategi BJP untuk menghubungkan nasionalisme dengan antagonisme Pakistan yang menerapkan Islam sebagai identitas nasional sekaligus sumber legitimasi sejak awal dibentuk (Brass, 2010). Oleh karena itu, nasionalisme berbasis agama mendasari kesuburan persaingan India-Pakistan sejak Partisi hingga kini.

Selanjutnya, pembentukan institusi di kedua negara berperan dalam mempertahankan diskursus nasionalisme masing-masing. Selama dua ratus tahun, India dan Pakistan — semula Kemaharajaan Britania — memiliki institusi pemerintahan yang stabil dan akses pada pasukan militer Inggris yang kuat, tetapi Partisi menciptakan dua negara lemah yang secara struktural (1) kekurangan legitimasi dan kontrol atas wilayah teritorial mereka, serta (2) tidak memiliki kelompok militer untuk menangani keamanan internal (Brown, 1996 dalam David, 1997). Di satu sisi, perlu dimengerti bahwa Partisi adalah produk percepatan kemerdekaan dari Inggris, sebab Mountbatten menyatakan bahwa kemerdekaan India — yang semula dijadwalkan paling lambat tanggal 30 Juni 1948 — dimajukan ke tanggal 14 (untuk Pakistan) dan 15 (untuk India) Agustus 1947 (Khan, 2017). Kondisi ini memengaruhi tidak sekadar perancangan perbatasan antarnegara tetapi juga pembagian infrastruktur dan institusi pemerintahan, secara konsekuen mengurangi kapasitas India dan Pakistan untuk menjamin keamanan pasca-Partisi.

Terlepas dari ketiadaan keterlibatan pasukan militer Inggris untuk menjaga ketertiban domestik, India memiliki pemerintahan dengan fungsi penuh terlebih dulu daripada Pakistan dalam dua aspek: penulisan konstitusi dan pembentukan institusi. Pertama, Jawaharlal Nehru, pemimpin Kongres sekaligus Perdana Menteri India, dan Ali Jinnah sama-sama berkomitmen terhadap nasionalisme atas dasar kedaulatan, keadilan, dan kebebasan berbasis sosialisme dan sekularisme, dan komitmen ini dikristalkan dalam konstitusi kedua negara. Namun, pendapat kedua negara mengenai sekularisme berbeda — India memberikan kebebasan berpolitik untuk penduduknya di tengah sentralitas peran pemerintah dalam pembangunan sedangkan Pakistan lebih khawatir dengan kemampuan militernya dalam menghadapi negara tetangganya (Brass, 2010; Tudor, 2013). Di samping itu, Jinnah tidak memberikan pemaparan eksplisit mengenai Pakistan sebagai negara bagi pemeluk Islam atau negara teokrasi berdasarkan hukum Syariah, memicu kebingungan ideologis antara konstituennya, saat India segera memulai perancangan konstitusi pasca-Partisi serta mengesahkannya pada tahun 1950 (Ahmed, 2002; Tudor, 2013).

Kedua, perancangan konstitusi memengaruhi pembentukan institusi dan rezim politik di kedua negara. Di satu sisi, Pakistan sejak awal menempatkan dirinya sebagai musuh India, mengingat ketidakamanan politiknya berdasarkan luas wilayah (hanya 23 persen luas wilayah kawasan Asia Selatan) serta kepemilikan sumber daya (tidak melebihi 10 persen sumber daya Kemaharajaan Britania), dan negara ini perlu membangun legitimasinya di tengah kekacauan demografis dan kekerasan pasca-Partisi sehingga (1) penulisan konstitusi merupakan prioritas yang lebih rendah daripada keamanan nasional dan pembangunan negara di Pakistan, dan (2) proses ini diwarnai dengan pergantian rezim sekaligus penundaan pemilihan umum pertama sampai tahun 1954 dan diakhiri dengan dominasi militer dalam perpolitikan Pakistan sejak tahun 1958 — membuka jalan bagi otoritarianisme (Jaffrelot, 2011; Tudor, 2013). Di sisi lain, didukung institusi-institusi demokratis warisan kolonial, India sukses mengadakan pemilihan umum pertamanya secara bebas dan adil pada tahun 1952, menetapkan birokrasi militer dan sipil, serta memudahkan implementasi demokrasi berdasarkan prinsip-prinsip konstitusinya (Jaffrelot, 2011; Tudor, 2013). Oleh karena itu, Partisi memengaruhi hubungan India-Pakistan sebagai variabel vital dalam perumusan konstitusi dan pembentukan institusi.

Determinan terakhir dalam perbedaan sistem sosial dan politik India serta hal serupa di Pakistan adalah penggunaan kekerasan politik — menurut Brown (1996 dalam David, 1997) lebih rentan terjadi pada negara-negara dengan permusuhan etnis dan permasalahan ekonomi. Asia Selatan, tidak terkecuali India dan Pakistan, memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi, dan setiap pemerintahan di dalamnya perlu menetapkan pemerintahan parlementer yang tegas dan kerangka konstitusional yang kuat untuk membangun legitimasi politik serta mengurangi ketegangan intra-/antarnegara. Pasca-Partisi, India dan Pakistan belum mempunyai legitimasi politik untuk menjaring dukungan konstituen dan menjamin ketertiban internal — memotivasi penggunaan kekerasan politik guna mendukung dan memelihara hubungan antara pemerintah dengan subjek pemerintahan. Di India dan Pakistan, kekerasan politik dapat diobservasi pada kekuatan sosial dominan dan kebijakan mereka sebagai modalitas demokrasi.

Dari sisi India, kehidupan sosial serta politik dicirikan dengan dominasi nasionalisme Hindu pada peraturan perundang-undangan — dipertahankan oleh polarisasi sistem kepartaian serta eksistensi kaum Hindu sebagai basis pemilih terbesar (Brass, 2010). Memperoleh sistem demokrasi yang stabil pascapengesahan konstitusi, India memberikan kebebasan yang cukup luas bagi penduduknya, misalnya, pemberian kewarganegaraan universal, pembukaan kantor publik bagi seluruh warga, serta penyediaan pekerjaan kepada kasta Dalit (Ahmed, 2002). Di samping itu, setiap pemilihan umum ditandai dengan persaingan antarpartai — di mana setiap partai memiliki karakteristik yang berbeda untuk memobilisasi dukungan dan merebut kuasa. Politik India ditandai dengan dominasi dua partai: (1) Kongres yang mengusung nasionalisme sekuler dan menguasai perpolitikan India sampai dekade 1980-an, dan (2) BJP yang bangkit sebagai refleksi gagasan kaum nasionalis Hindu secara historis (Ahmed, 2002; Saeed, 2018). Secara tidak langsung, persaingan Kongres-BJP mengindikasikan pertentangan nasionalisme sekuler dengan nasionalisme Hindu, yang terakhir memobilisasi peralihan kebijakan Kongres menuju kebijakan berbasis agama dan perlawanan terhadap Pakistan — tercermin pada agenda pendidikan yang memproyeksikan bias pro-Hindu dan mengantagonisasi Muslim.

Dari sisi Pakistan, penerapan demokrasi terkendala secara struktural, mengingat ide pasca-Partisi bahwa kerangka identitas serta kepemimpinan Pakistan harus dibedakan dengan hal serupa milik India. Merumuskan konstitusi sesuai dengan hukum Syariah, Pakistan masih menaruh perhatian kepada keamanan internal — bahkan pascakudeta 1958 yang menandakan permulaan otoritarianisme — karena dilema keamanannya dengan India (Jaffrelot, 2011). Di samping itu, peralihan rezim antara otoritarianisme dan demokrasi menghasilkan amandemen konstitusi berumur pendek, tetapi dominasi militer menghapus kredibilitas partai politik lain, merusak prinsip-prinsip demokrasi, dan memunculkan ketakutan publik. Maka dari itu, rezim Pakistan — yang mulanya menghendaki demokrasi dan sekularisme — dirusak oleh pengaruh militer yang sangat besar terhadap ketahanan ekonomi dan politik, ditandai dengan kebijakan yang otoriter dan tersentralisasi — misalnya, mengintimidasi media, membatasi secara selektif kebebasan masyarakat sipil, dan melakukan serangan terhadap kelompok minoritas.

Dapat disimpulkan bahwa Partisi membawa dampak masif pada pembentukan negara India dan Pakistan, terutama dalam hubungan pemerintah-masyarakat sipil, dalam tiga moda: pertentangan nasionalisme, pembentukan institusi, dan penggunaan kekerasan politik. Partisi memunculkan ketidakstabilan politik dan kekerasan komunal — memunculkan kesadaran akan sistem pemerintahan yang kuat. Namun, pemerintahan di kedua negara dibangun berdasarkan ideologi Hindutva di India dan Islamisme di Pakistan, melibatkan antagonisme terhadap satu sama lain. Guna mempertahankan nasionalisme masing-masing, kedua negara mulai menulis konstitusi dan membentuk institusi, tetapi Pakistan masih dihadapkan dengan ketidakamanan politiknya dengan India sehingga ia menomorduakan pembentukan pemerintahan yang stabil. Akan tetapi, Pakistan mesti merasakan konsekuensi tindakannya melalui peralihan demokrasi dengan otoritarianisme secara berkala ketika India menikmati demokrasi yang lebih kuat.

REFERENSI

Ahmed, I. (2002). The 1947 Partition of India: A Paradigm for Pathological Politics in India and Pakistan. Asian Ethnicity, 3(1), 9–28. https://doi.org/10.1080/14631360120095847

Bourke-White, M. (1949). Halfway to Freedom: A Report on the New India in the Words and Photographs of Margaret Bourke-White. Simon and Schuster.

Brass, P. R. (2010). Introduction. Dalam P. R. Brass (Ed.), Routledge handbook of south asian politics: India, pakistan, bangladesh, sri lanka, and nepal. Routledge.

Chandra, K. (2019, September 11). The Roots of Hindu Nationalism’s Triumph in India. Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/india/2019-09-11 /roots-hindu-nationalisms-triumph-india

David, S. R. (1997). Internal War: Causes and Cures [Review of Internal War: Causes and Cures, oleh M. Brown & R. Licklider]. World Politics, 49(4), 552–576. JSTOR.

Habib, S. I. (2017). Indian Nationalism: The Essential Writings. Aleph Book Company.

Jaffrelot, C. (2011). Why Pakistan is Neither a Democracy Nor (Yet?) an Autocracy (Policy Brief). The German Marshall Fund of the United States. www.gmfus.org/publications/why-pakistan-neither-democracy-nor-yet-autocracy

Khan, Y. (2017). From breakdown to breakdown. Dalam The Great Partition: The making of india and pakistan. Yale University.

Saeed, S. (2018). Secularization of Politics: Muslim Nationalism and Sectarian Conflict in South Asia. Dalam H. Iqtidar & T. Sarkar (Ed.), Tolerance, Secularization and Democratic Politics in South Asia (hlm. 50–74). Cambridge University Press; Cambridge Core. https://doi.org/10.1017/9781108582834.003

Samaddar, R. (2017). Policing a riot-torn city: Kolkata, 16–18 August 1946. Journal of Genocide Research, 19(1), 39–60. doi.org/10.1080/14623528.2016.1224526

Talbot, I. (2019). Legacies of The Partition for India and Pakistan. Politeja, 59, 7–25. JSTOR. doi.org/10.2307/26916350

Tudor, M. (2013). How India institutionalized democracy and Pakistan promoted autocracy. Dalam M. Tudor (Ed.), The Promise of Power: The Origins of Democracy in India and Autocracy in Pakistan (hlm. 1–43). Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/CBO9781139519076.002

--

--

Allysa Ramadhani

An 🇮🇩 IR grad exploring Security Studies in South/Southeast Asian politics. Ex-exchange student in 🇵🇱 and ex-Program Assistant at an 🇦🇺 consortium.