Keterbatasan Institusional ASEAN dalam Mewujudkan Agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan

Allysa Ramadhani
8 min readDec 30, 2020
20th ASEAN Political-Security Community (APSC) Council Meeting menjadi forum untuk memperkuat komitmen ASEAN terhadap Agenda WPS, (Sumber: kemlu.go.id).

ASEAN merupakan organisasi yang menunjukkan dukungannya secara aktif terhadap Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan — atau Women, Peace, and Security (WPS) — sebagai agenda penting untuk mencapai perdamaian global. Dilatarbelakangi oleh kekerasan seksual sebagai strategi perang dan sebagai ancaman bagi keamanan perempuan, agenda WPS mulai dicanangkan sejak tahun 2000 melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 dengan empat pilar utama: pencegahan kekerasan terhadap perempuan, perlindungan dari kekerasan seksual dan berbasis gender, partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, serta keterlibatan perempuan di tindak pencegahan, pengelolaan, dan penyelesaian konflik (Olsson & Gizelis, 2013). Menerapkan agenda WPS pada tingkat regional, ASEAN mendorong keamanan serta perdamaian yang berkelanjutan dengan menaruh perhatian pada pemberdayaan perempuan.

Terlepas dari komitmen kuatnya terhadap kesetaraan gender, ASEAN masih memiliki keterbatasan institusional dalam merespons lanskap perdamaian dan keamanan yang dinamis. Dalam KTT ASEAN ke-31 di Filipina, ASEAN mengesahkan Joint Statement on Promoting Women, Peace, and Security in ASEAN untuk menyatukan persepsi dan komitmen kolektif atas pemberdayaan perempuan (Heyzer, 2020). Di satu sisi, kondisi ini menunjukkan dedikasi ASEAN untuk menjalankan kepemimpinan regional, khususnya di Asia-Pasifik, serta global dalam melaksanakan agenda WPS. Di sisi lain, perbedaan komitmen setiap negara anggota dan penerapan The ASEAN Way sebagai pedoman interaksi antaranggota menghalangi upaya pemutusan siklus konflik berbasis gender di Asia Tenggara. Esai ini akan memaparkan bahwa kerangka institusional ASEAN membatasi penerapan agenda WPS di tingkat regional dengan dua landasan konseptual: kompleks keamanan dan The ASEAN Way.

Pertama, keamanan berkaitan dengan stabilitas negara dan masyarakat guna menjaga identitas dan integritas fungsional mereka (Buzan, 1991 dalam Stone, 2009), dan kompleks keamanan dipahami sebagai keterkaitan keamanan nasional setiap negara dalam satu kawasan (Buzan, 2003). Dalam menghadapi tantangan keamanan di level internasional, negara-negara di suatu kawasan dapat memberikan respons secara kolektif, yang dibentuk oleh proksimitas geografi dan/atau hubungan relasional karena kesamaan ideologi, kebangsaan, serta etnis. Logika keamanan Asia Tenggara dibentuk oleh kondisi geografis dan struktur anarkis, sebab perbatasan wilayah secara langsung serta perbedaan ciri intra-ASEAN — misalnya, struktur ekonomi serta sosial budaya — dapat dipandang sebagai ancaman keamanan karena ketiadaan otoritas sentral untuk meregulasi interaksi antarnegara anggota. Karena tidak menggunakan pakta keamanan dan/atau aliansi militer, ASEAN lebih menekankan interaksi serta tanggapan internal untuk menyelesaikan konflik (Acharya, 2001).

Kedua, The ASEAN Way adalah seperangkat prinsip yang menekankan pengambilan keputusan dengan konsensus serta ketiadaan campur tangan untuk melindungi kepentingan setiap negara anggota sekaligus mewujudkan stabilitas regional. The ASEAN Way terdiri dari empat prinsip: noninterferensi — atau penghormatan atas kemerdekaan, kedaulatan, keutuhan wilayah semua negara anggota — integritas teritorial, penyelesaian sengketa secara damai, dan pembuatan keputusan berbasis informalitas, konsultasi dan konsensus, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Treaty of Amity and Cooperation (Kivimäki, 2011). Dalam konteks ASEAN sebagai komunitas keamanan, The ASEAN Way adalah pengkondisian kebijakan keamanan yang mengedepankan resolusi konflik secara informal — tanpa menyatakan perang dan/atau melakukan persiapan sistematis untuk menghadapi perang intra-ASEAN.

Bagi ASEAN, agenda WPS mempunyai potensi untuk mewujudkan perdamaian yang lebih inklusif dan lebih demokratis sekaligus untuk mewujudkan kesetaraan gender, tetapi penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan kawasan. Dalam dua dasawarsa terakhir, Asia Tenggara merupakan lokasi kekerasan berbasis gender — misalnya, Indonesia melaporkan 52 korban pemerkosaan akibat Kerusuhan Mei 1998, dan Malaysia mencatat kenaikan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga: dari 3.173 kasus pada tahun 2010 menjadi 4.807 kasus pada tahun 2014 (Asia Foundation, 2017). Keterkaitan dimensi gender dalam permasalahan kemanusiaan, pengungsian, dan perubahan iklim di Asia Tenggara mampu memperkuat atau memperlemah dampak terhadap perempuan, akibatnya menghasilkan momentum bagi agenda WPS sebagai solusi bagi tantangan keamanan perempuan yang semakin kompleks.

Kemungkinan pengaruh yang teramplifikasi akibat keterkaitan keamanan perempuan dengan keamanan nontradisional lain mendorong ASEAN untuk mengintegrasikan keduanya via instrumen kolektif. Pascapengesahan Joint Statement on Promoting Women, Peace, and Security, ASEAN membentuk ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) sebagai badan yang mengidentifikasi bidang-bidang yang membutuhkan partisipasi perempuan yang lebih tinggi — baik di pengambilan keputusan maupun dalam proses binadamai — melalui rencana aksi yang diterbitkan setiap empat tahun. Sebagai contoh, Rencana Aksi Periode 2016–2020 mengidentifikasi empat bidang perbaikan: peningkatan kepemimpinan perempuan, perbaikan norma sosial, penghabisan kekerasan pada perempuan, dan pemberdayaan ekonomi perempuan (Sloane, 2017). Hal ini mengindikasikan komitmen ASEAN untuk mengimplementasikan agenda WPS secara luas dan spesifik.

Namun, perhatian ASEAN tidak semestinya terbatas pada identifikasi tetapi juga pada implementasi kerangka regional secara efektif. Sebagai komunitas keamanan, ASEAN telah menyusun pendekatan kontekstual terhadap agenda WPS — secara konsekuen memungkinkan inisiatif perdamaian dan keamanan perempuan di Asia Tenggara dan sekitarnya. Akan tetapi, pendekatan ini perlu disertai dengan tindakan yang terencana dan terukur untuk memastikan implementasi yang efektif. Walau ASEAN menggarisbawahi hubungan antara ketimpangan gender dengan ketimpangan sosial pada bidang lainnya, penanganan konflik di Asia Tenggara memberikan sedikit atau tidak memberikan perhatian sama sekali pada agenda WPS. Kondisi ini dapat dianalisis dari dua tingkat, yaitu nasional dan regional.

Di tingkat nasional, tidak semua pemerintahan di Asia Tenggara memiliki komitmen yang sama terhadap penerapan agenda WPS. Penerjemahan pilar-pilar agenda WPS menjadi praktik memerlukan pengembangan strategi oleh berbagai kelompok kepentingan — tak hanya ASEAN tetapi juga setiap negara anggotanya — pengalokasian sumber daya sesuai dengan kapasitas masing-masing negara anggota, dan proses pelaporan dan evaluasi tindakan sesuai dengan agenda WPS. Ketiga faktor ini tercermin dalam Rencana Aksi Nasional Agenda WPS sebagai langkah untuk memetakan konteks domestik serta menanggapi kekerasan terhadap perempuan di setiap negara, tetapi hingga kini hanya Filipina dan Indonesia yang mempunyai Rencana Aksi Nasional Agenda WPS (UN Women, t.t).

Tidak hanya dalam kerangka kerja domestik, ketimpangan antara ideal dengan praktik agenda WPS tercermin dalam keterwakilan perempuan yang masih tergolong rendah dalam institusi-institusi domestik. Misalnya, tingkat partisipasi perempuan Indonesia di kementerian meningkat — dari 1,8 persen di awal 2014 menuju 23,5 persen di awal 2019 (Khullar, 2019). Sebaliknya, tingkat partisipasi perempuan Filipina di kementerian malah menurun — dari 16 persen di awal 2014 menuju 10,3 persen di awal 2019 (Khullar, 2019). Berdasarkan data dari kedua negara ini, partisipasi perempuan dalam politik domestik tidak mencapai seperempat dari jumlah keseluruhan, dan ini menunjukkan bahwa — terlepas dari komitmen setiap negara terhadap agenda WPS — partisipasi perempuan di tingkat domestik masih relatif rendah.

Di tingkat regional, prinsip The ASEAN Way menghambat pengembangan strategi dan rencana kolektif guna melaksanakan agenda WPS. Sebenarnya, keterbatasan sistemik dalam pengimplementasian agenda WPS di tingkat domestik disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar negara anggota ASEAN sedang menghadapi konflik dan transisi politik (Nair, 2015). Namun, tanpa memperhatikan pemahaman kolektif mengenai pentingnya peran perempuan pada resolusi konflik dan perdamaian, perumusan kebijakan yang menekankan konsensus dan noninterferensi tidak memberi ruang bagi suatu negara anggota untuk mengkritik komitmen, dan bahkan, untuk mengkritik pelanggaran hak-hak perempuan, negara anggota lain.

Padahal, skema transparansi kebijakan pada tingkat domestik memungkinkan ASEAN untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang dapat diperbaiki serta untuk menyepakati rencana aksi regional yang telah disesuaikan dengan kapabilitas setiap negara anggota. Di satu sisi, perwujudan agenda WPS mestinya mempertimbangkan norma sosial dan bias sistemik yang memungkinkan perbedaan ketimpangan gender antaranggota ASEAN (Nair, 2019). Misalnya, permasalahan hak asasi perempuan kerap menjadi perdebatan yang tak berujung di Indonesia, dibuktikan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terhenti di tengah peningkatan kekerasan berbasis gender meningkat dalam 12 tahun terakhir sebanyak 792 persen (Madrim, 2020), berbeda dengan Hukum Republik 9262 Filipina yang menangani kekerasan pada perempuan — baik kekerasan domestik maupun kerusakan fisik, emosional, dan ekonomi (Asia Foundation, 2017).

Kondisi Indonesia dan Filipina yang teramat kontras mengimplikasikan bahwa lebih banyak perhatian harus diberikan ASEAN kepada pengalaman hidup perempuan dalam setiap negara. Dengan skema transparansi kebijakan yang disampaikan sebelumnya, ASEAN dapat memperoleh lebih banyak informasi tentang emansipasi wanita — di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya — sehingga pengimplementasian agenda WPS di Asia Tenggara diimbangi dengan penyelarasan nilai dan norma antarnegara serta pembangunan ASEAN Community yang lebih tangguh dan kuat. Walaupun demikian, prinsip The ASEAN Way — terutama prinsip noninterferensi — dan ketiadaan skema transparansi merintangi setiap negara anggota untuk memastikan komitmen masing-masing terhadap agenda WPS, serta keduanya akan mencegah pemberdayaan perempuan dan perwujudan perdamaian.

Di sisi lain, terlepas dari pendekatan kontekstual yang telah disepakati, ASEAN harus mengatasi kompartementalisasi permasalahan keamanan dan gender dalam semua badannya. ASEAN telah menaruh perhatian pada keterkaitan keamanan perempuan dengan bidang lain, tetapi pemberdayaan perempuan masih merupakan fokus ASEAN Socio-Cultural Community dan belum menjadi ruang lingkup dua ASEAN Community lainnya: ASEAN Political-Security Community serta ASEAN Economic Community (Nair, 2015). Keterlibatan perempuan dalam politik dan kerentanan perempuan dalam konflik tidak ditangani secara proporsional karena ASEAN menghendaki pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial budaya sejak pertama didirikan — membatasi perannya sebagai mimbar nonpolitik untuk berkonsultasi serta bekerja sama. Jika dihadirkan dalam ketiga pilar ASEAN Community, agenda WPS dapat menurunkan ketimpangan gender dan meningkatkan produktivitas sesuai dengan visi awal ASEAN.

Dapat disimpulkan bahwa ASEAN menunjukkan komitmen terhadap perdamaian dan keamanan yang berkelanjutan melalui implementasi agenda WPS — menyerukan fokus pada keterlibatan perempuan dalam upaya pencegahan, pengelolaan, dan penyelesaian konflik. Meskipun peluang ASEAN untuk memimpin penerapan agenda WPS terbuka lebar, peran ASEAN terbatas pada pengakuan ketimpangan gender, dibuktikan dengan peran perempuan yang masih terbatas di politik dan proses binadamai. Agenda WPS memerlukan mekanisme spesifik untuk memastikan ketepatan waktu dan keefektifan dalam implementasinya, tetapi mekanisme kolektif bagi negara-negara anggota ASEAN belum terbentuk karena The ASEAN Way — khususnya prinsip noninterferensi. Karena itu, ASEAN diharapkan dapat memastikan komitmen negara-negara anggotanya sekaligus menyepakati sebuah kerangka kolektif untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender di tingkat regional.

REFERENSI

Acharya, A. (2001). Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order. Routledge.

Asia Foundation (Ed.). (2017). State of conflict and violence in Asia. The Asia Foundation.

Buzan, B. (2003). Regional Security Complex Theory in the Post-Cold War World. Dalam F. Söderbaum & T. M. Shaw (Ed.), Theories of New Regionalism: A Palgrave Reader (hlm. 140–159). Palgrave Macmillan UK. https://doi.org/10.1057/9781403938794_8

Heyzer, N. (2020). Women, Peace and Security in ASEAN: New Issues (No. CO20204; RSIS Commentary). S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University. https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/nts/women-peace-and-security-in-asean-new-issues/#.X8ZxBRMzaWd

Khullar, A. (2019). ASEAN & UNSCR 1325 (Part-I) (№5581). Institute of Peace and Conflict Studies. http://www.ipcs.org/comm_select.php?articleNo=5581

Kivimäki, T. (2012). Southeast Asia and conflict prevention. Is ASEAN running out of steam? The Pacific Review, 25(4), 403–427. https://doi.org/10.1080/09512748.2012.685094

Madrim, S. (2020, Agustus 3). Dalam 12 Tahun, Kekerasan Terhadap Perempuan Naik Hampir 8 Kali Lipat. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/dalam-12-tahun-kekerasan-terhadap-perempuan-naik-hampir-8-kali-lipat-/5319863.html

Nair, T. (2015). Women, Peace and Security in ASEAN: Need For Distinct Action Plan (No. CO15278; RSIS Commentary). S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University. https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/nts/co15278-women-peace-and-security-in-asean-need-for-distinct-action-plan/#.X9R8BOkza00

Nair, T. (2019). Working Women and Economic Security in Southeast Asia (Policy Reports). S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University. https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/nts/women-peace-and-security-in-asean-new-issues/#.X8ZxBRMzaWd

Olsson, L., & Gizelis, T.-I. (2013). An Introduction to UNSCR 1325. International Interactions, 39(4), 425–434. https://doi.org/10.1080/03050629.2013.805327

Sloane, J. (2017, Juli 12). Toward a Regional Action Plan on Women, Peace, and Security in Asia. The Asia Foundation. https://asiafoundation.org/2017/07/12/toward-regional-action-plan-women-peace-security-asia/

Stone, M. (2009). Security according to Buzan: A comprehensive security analysis. Security discussion papers series, 1, 111.

UN Women. (t.t.). National Action Plans. UN Women | Asia and the Pacific. Diambil 1 Desember 2020, dari https://asiapacific.unwomen.org/en/focus-areas/peace-and-security/national-action-plans

--

--

Allysa Ramadhani

An 🇮🇩 IR grad exploring Security Studies in South/Southeast Asian politics. Ex-exchange student in 🇵🇱 and ex-Program Assistant at an 🇦🇺 consortium.